Banda Aceh – Terbengkalainya beberapa pusat pasar milik Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh menuai tanggapan pengamat ekonomi Universitas Syiahkuala (Unsyiah) Banda Aceh, Dr. Amri, SE., M.Si.
Dr. Amri menilai pembangunan tersebut dilakukan tanpa Studi Kelayakan (Feasibility Study). Sehingga bangunan yang sudah jadi dan menelan biaya puluhan miliar tidak berfungsi dan terkesan terbengkalai.
“Ambil contoh seperti pembangunan pasar Al Muhira, Lamdingin. Ini tidak ada Studi Kelayakan (Feasibility Study). Tak cukup degan Detail Engineriing Project. Sehingga tidak dibutuhkan oleh masyarakat dan membuat pedagang gulung tikar,” tegas Dr. Amri, Senin, 31 Agustus 2020.
Dr. Amri memaparkan beberapa pasar yang gagal dioperasikan oleh Pemko Banda Aceh bukan hanya pasar Lamdingin, sebelumnya, Pemko Banda Aceh juga dinilai gagal mengoperasikan pasar Ulee Kareng, pasar Bathoh, dan pasar Ulee Lheu, yang menghabiskan uang rakyat puluhan miliar rupiah namun tidak bermanfaat.
“Ini harus menjadi catatan. Bahwa, pembangunan yang dilakukan kedepan itu harus ada Feasibility Study. Apakah dibutuhkan atau tidak. Jangan dipaksakan dibangun,” tegas mantan Sekretaris Master Manajemen Unsyiah Banda Aceh itu.
Selain itu, menurut Dr. Amri pemindahan para pedagang dilakukan disaat yang tidak tepat karena daya beli masyarakat tengah menurun akibat pandemi Covid 19.
“Saya berharap ini (pasar Lamdingin) jangan seperti pasar Ulee Kareng, Pasar Bathoh, dan pasar Ulee Lheu, yang menghabiskan uang negara, rakyat puluhan miliar rupiah namun tidak bermanfaat,” harapnya.
Dr. Amri melihat penataan kota yang dilakukan Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman sudah bagus, namun karena instrumennya di bawah tidak jalan maka menjadi mandek.
“Misal, masalah pasar itu, ini kan jaman Covid sedang merana ini. Perusahan besar saja sedang merumahkan pekerjanya. Semua sedang tidak normal ini. Malah, Pemko memindahkan mereka, ini timing tidak tepat,” ujarnya.
Kemudian, kata Amri, kondisi di Banda Aceh sebagai kota perdaganagan dan jasa sangat berbeda dengan daerah lain di Aceh yang mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan, sehingga tidak begitu berdampak signifikan.
“Banda Aceh adalah kota dagang dan kota jasa, itulah pariwisata. Jadi, dipinggir Krueng Aceh itu bagus pariwisata,” ulasnya.
Menurut Amri, berbicara tentang arah pembangunan Banda Aceh harus dilihat secara menyuluruh. Artinya, berbicara Banda Aceh juga harus Aceh Besar.
Sesungguhnya, Kota Banda Aceh tidak ideal sebagai ibu kota provinsi karena wilayahnya sangat kecil atau sekitar 60 kilometer persegi.
Itu sebabnya, Banda Aceh dengan Aceh Besar harus punya perencanaan yang komprehensif secara bersama, sehingga pembangunannya dapat terarah.
Misal, semua kebutuhan Banda Aceh dari aceh Besar sedangkan pembungan dari Banda Aceh dilakukan di Aceh Besar. Mutlak, antara Banda Aceh dan aceh Besar menjadi saling ketergantungan.
Makanya, ia menyarakanan agar Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman tidak berkerja sendiri dan melibatkan seluruh stakeholder termasuk akademisi dalam mengambil kebijakan.
“Kan, Pak amin harus sadar bahwa Banda Aceh sebagai kota perdaganag dan jasa, maka harus ditingkatkan pariwisata. Tapi, indikator menuju kesana masih kurung. Malahan, kita tidak melihat blue print nya,” harap peraih Sertifikasi Perencanaan Pembangunan (planning) dan Penganggaran Uang Negara (Budgeting) baik Nasional maupun Internasional Graduate Research Institute for Policy Studies (GRIPS) Tokyo, Jepang.
Sebelumnya, Pemko Banda Aceh merelokasikan seluruh pedagang dari pusat pasar Peunayong ke pasar Al Muhira, Lamdingin. Belakangan mereka memprotes dan beralasan tidak disinggahi para pembeli sehingga memilih kembali berjualan ke pasar Peunayong.*
Discussion about this post