Banda Aceh – Juru Bicara (Jubir), Wiratmadinata menampik anggapan sebagaian orang yang menyebukan akan timbul persoalan sosial, agama dan budaya bila Uni Emirate Arab (UEA) jadi berinvestasi di Aceh.
“Masyarakat Aceh sudah pada tataran penguatan dan ketahanan budaya yang tidak lagi perlu dikhawatirkan dalam aspek perspektif interaksi manusia,” tegas Wiratmadinata, Jumat, 14 Februari 2020.
Kehadirian Wiratmadinata mewakili Pemeriantah Aceh menjadi salah satu narasumber pada acara bertajuk Ruang Opini Publik yang dilaksanakan oleh Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian Aceh Bidang Pengelolaan dan Layanan Informasi Publik di Na Caffe, Jalan Cut Nyak Dhien, Lamtemen Timur, Banda Aceh.
Wira memaparkan bahwa Aceh memiliki beberapa komponen sasaran investasi; seprti sarana pendukung kepariwisataan seperti resort, perhotelan, fasilitas transportasi wisata.
Kemudian, islamic center state berupa pusat kebudayaan Islam yang nantinya dipusatkan di Kota Banda Aceh, dan industri dan pengembangan agrobisnis halal food yang sudah menjadi pengenal dari provinsi Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam.
Selanjutnya, pengembangan wisata pulau Weh Sabang, ekowisata Aceh Tengah, wisata pantai Pulo Banyak, wisata Seumeulue, KEK Arun, sektor migas, metrokimia dan pembangunan infrastruktur gas hilir Lhokseumawe serta perluasan Ladom sebagai pusat industri seluas 200 hektar.
Menurutnya, kemajuan Aceh sudah di depan mata, apalagi saat ini Aceh berpeluang luas melalui kekayaan sumber daya alam yang dimiliki provinsi tersebut beberapa negara investor siap menanam modal, UEA juga segera berinvestasi mencapai Rp. 42 triliun untuk pengembangan sektor kepariwisataan maupun bidang industri dan eksplorasi gas-metrokimia.
“Tidak ada satu wilayah pun yang bisa berkembang tanpa adanya investasi,” tutur Wira.
Lanjut Wira, kesiapan Aceh dari segi sosial, religi maupun budaya jangan lagi menjadi perdebatan, pengawasan secara bersama dapat dilakukan sebagai upaya menyikapi positif atas kesempatan investasi sebagai provinsi berkembang dengan harapan terus tumbuh.
“Persoalan tantangan budaya dalam pengembangan suatu negara, adalah soal lampau, kita menyebutnya sebagai wacana purba, sepatutnya kita akhiri saja polemik itu, Aceh punya target sepuluh persen nilai angka kemiskinan untuk masa pemerintahan saat ini,” ujarnya.
Wiratmadinata bercerita soal Aceh terkini pasca 16 tahun gempa dan tsunami Aceh 2004 silam bahwa Aceh telah menerapkan syariat islam dan telah mencapai kemajuan yang cukup layak diapresiasi.
Padahal, pada saat bencana maha dahsyah yang menewaskan lebih 200 ribu jiwa itu terjadi, Aceh berada pada titik minus di segala bidang, infrastruktur hancur, sistem ekonomi, sosial juga mengalami titik terendah dalam tingkatan secara nasional.
“Karenanya, 2019 jika ada survei yang menyatakan Aceh masih propinsi termiskin di Sumatera, itu wajar saja,” sebut Wiratmadinata.
Lanjut Wiratmadinata, belum lagi soal komplik yang berkepanjangan juga menjadi kendala Aceh untuk bangkit, sedangkan provinsi lain terus membangun.
“Sangat sulit jika disanding dengan propinsi lainnya, saat daerah lain berlari, Aceh malah baru memulai kembali pembangunannya di segala bidang,” papar Wira.
Discussion about this post